
Dalam beberapa tahun terakhir, kita semakin sering mendengar kalimat seperti, “Kamu bisa menarik apa pun ke dalam hidupmu,” atau “Kamu adalah pencipta realitamu sendiri.”
Konsep ini, yang sering dikenal dengan istilah The Law of Attraction atau manifesting, menjanjikan bahwa dengan kekuatan pikiran dan niat, manusia bisa membentuk hidup sesuai keinginan.
Bahkan, beberapa pengikut fanatik menganggap diri mereka sebagai “Tuhan kecil” yang bisa menciptakan kenyataan tanpa campur tangan siapa pun.
Namun, benarkah manusia bisa menjadi Tuhan atas hidup sendiri? Apakah benar kita bisa menciptakan realita hanya dengan kekuatan niat, tanpa melibatkan kehendak Tuhan? Mari kita bahas lebih dalam.
Asal-usul dan Popularitas Konsep Manifesting
Konsep The Law of Attraction berasal dari filosofi spiritual dan gerakan New Age yang berkembang di Barat. Ajaran ini menyebutkan bahwa pikiran memiliki frekuensi tertentu yang bisa “menarik” hal-hal serupa ke dalam hidup.
Jika kita berpikir positif, maka hal-hal positif akan datang. Sebaliknya, pikiran negatif akan membawa realita yang buruk.
Buku dan film seperti The Secret semakin mempopulerkan ide bahwa kita memiliki kekuatan semesta dalam diri kita, hanya tinggal “mengakses”-nya lewat afirmasi dan visualisasi.
Seiring waktu, media sosial juga memperkuat tren ini. Influencer dan motivator sering kali menyampaikan pesan seperti “Semesta selalu mendengarmu,” atau “Kamu adalah pencipta hidupmu.”
Terdengar positif dan membangun, bukan? Tapi di balik itu, ada bahaya laten yang perlu disadari.
Perspektif Islam: Allah Sang Pengatur Segala Realita
Dalam Islam, kepercayaan bahwa manusia bisa menciptakan realita sepenuhnya bertentangan dengan tauhid, prinsip keesaan Allah. Dalam QS. Al-Baqarah: 117, Allah berfirman:
"Allah Pencipta langit dan bumi. Bila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya: 'Jadilah!' Maka jadilah ia."
Ayat ini dengan jelas menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak untuk menciptakan dan menentukan. Manusia diberikan akal dan kebebasan untuk berusaha (ikhtiar), namun hasil akhirnya selalu dalam genggaman-Nya.
Mengabaikan aspek ketuhanan dalam konsep manifestasi bisa membawa manusia pada kepercayaan yang salah arah yakni bahwa mereka adalah Tuhan atas hidup sendiri, padahal kenyataannya, kita adalah hamba yang bergantung sepenuhnya kepada kehendak-Nya.
Bahaya Keyakinan “Menjadi Tuhan Kecil”
Mungkin bagi sebagian orang, berpikir bahwa diri bisa menciptakan realita sendiri terdengar seperti motivasi positif. Tapi jika tidak dilandasi dengan akidah yang lurus, hal ini bisa menimbulkan beberapa konsekuensi serius:
1. Kesombongan Spiritual
Saat seseorang meyakini bahwa segala hal dalam hidupnya terjadi hanya karena pikirannya sendiri, ia bisa lupa bersyukur.
Ia merasa tak lagi butuh pertolongan Tuhan, apalagi berdoa. Di sinilah kesombongan spiritual muncul — sebuah bentuk keangkuhan yang halus, tapi berbahaya.
2. Potensi Syirik Khafi
Tanpa sadar, seseorang bisa menempatkan “energi semesta” sebagai kekuatan di luar Tuhan yang bisa mengatur takdir. Ini termasuk dalam syirik khafi atau kesyirikan tersembunyi, yang sangat dikecam dalam Islam.
Antara Ikhtiar, Doa, dan Tawakal
Islam tidak menolak usaha. Bahkan, dalam banyak ayat dan hadits, umat Islam dianjurkan untuk berikhtiar, membuat perencanaan, serta memantapkan niat.
Namun, semua itu harus dilandasi keyakinan bahwa hanya Allah yang menentukan hasilnya.
Rasulullah SAW adalah teladan terbaik. Beliau merancang strategi dalam perang, berdiskusi, bahkan melakukan hijrah dengan persiapan matang.
Tapi pada akhirnya, beliau tetap berserah diri (tawakal) kepada Allah. Di sinilah letak keseimbangan antara usaha dan iman.
Media Sosial dan Ilusi Kekuatan Diri
Era digital mempercepat penyebaran ide bahwa manusia bisa mengatur semesta. Banyak konten motivasi yang menyelipkan kalimat seperti, “Ucapkan keinginanmu ke semesta,” tanpa ada satu pun menyebut nama Tuhan.
Generasi muda pun banyak yang terjebak dalam optimisme kosong. Ketika harapan tak tercapai, mereka bisa kecewa, merasa gagal, bahkan mempertanyakan harga diri mereka.
Padahal, bisa jadi realita yang mereka inginkan tidak diizinkan oleh Allah demi kebaikan yang lebih besar.
Kesimpulan: Manusia Bukan Tuhan Kecil
Keyakinan bahwa kita bisa menciptakan realita sendiri tanpa peran Tuhan adalah ilusi. Manusia diberikan kehendak untuk berusaha, tapi bukan untuk mengatur hasil. Kita bukan “Tuhan kecil” yang bisa memanipulasi semesta sesuka hati.
Justru saat kita sadar akan keterbatasan diri, saat itulah kita menjadi kuat. Bukan karena kekuatan manifestasi, tapi karena bersandar pada Sang Maha Pencipta.
Jadi, alih-alih hanya “manifesting” keinginan, lebih baik kita iringi usaha dengan doa dan tawakal. Karena pada akhirnya, hanya Allah yang bisa berkata, “Jadilah,” maka jadilah.